Tuesday, December 23, 2025

Hai pagi....
Apa embun sudah disini
Rumput menunggu kesejukan
Hai siang ....
Mengapa berganti petang
Pohon menanti kehangatan 
Hai petang ...
Dimana awan awan 
Akar menginginkan keteduhan
Hai malam ...
Kapan kau sapa bintang
Bunga mendambakan ketenangan 

sambut aku jika tak datang 

sambit aku jika tak pulang

sebut aku jika petang

sabit aku jika lekang

datanglah ke mimpiku

lalu tampar aku

jika napsuku beku


datanglah ke kalbuku

lalu tendang aku

jika nafasku kaku


Datanglah ke nadiku 

lalu pacu aku 

jika darahku tak laku


Datanglah ke jiwaku

 lalu bakar aku 

jika hidupku terpaku

sekali saja tolong hisap
mungkin tak berasa

tapi tenang kau dapat

tak jadi mengumpat


sekali saja kau bakar

tak usah bertengkar

tak akan tertukar

hanya tertular


sekali saja kau cela

jiwamu tak rela

tubuhmu membela

lalu akan menyala

Pintu durhaka

menatapnya celaka 

mengetuknya berdosa

membukanya durjana

sebentar saja disini
hingga ku berkedip
pergilah jika sudah
rinduku tak lelah

Biar detik yang sempit 
Mengukir kenangan rumit 
Tak perlu janji setia 
Cukup hadirmu yang nyata

Karena saat kau menjauh 
Hatiku takkan rapuh 
Ia tahu cara menunggu 
Tanpa diburu waktu

Aku tak memintamu menetap selamanya, karena aku tahu kakimu tercipta untuk melangkah. Maka, sebentar saja disini. Beri aku waktu hingga ku berkedip, untuk merekam senyummu dalam ingatan fotografisku.

Setelah itu, pergilah jika sudah. Tak perlu menoleh dengan rasa bersalah. Karena sejauh apa pun kau melangkah, rinduku tak lelah. Ia akan tetap hidup, bernapas tenang, menantimu atau sekadar mengenangmu dalam diam."

Sebentar saja disini 
Hingga ku berkedip

Dalam gelap sekejap mata 
Kusembunyikan potret kita 
Agar saat mata terbuka 
Kau boleh tiada, tapi rasa tetap ada

Pergilah jika sudah 
Rinduku tak lelah

Ia tak butuh raga 
Cukup bayangmu saja 
Menemaniku menua 
Di batas senja.

sederet huruf berbaris 

kucumbu dengan manis

dua benjolan lembut

bergaul hingga larut


khayal durjana

melihatmu terbuka 

mimpi pengelana

menatapmu bermakna

Di batas logika kau tawarkan surga 

di ujung dahaga kau jadi telaga

setiap denting yang ku petik

nadanya berbeda kadang sama

setiap mata yang ku kedip 

warnanya berbeda terkadang samar


Setiap langkah yang ku tuju 

Jejaknya berbeda walau berdebu 

Setiap rasa yang ku eja 

Maknanya berbeda entah kemana

Si hitam musuh yang ku regut
ku telan tanpa pesan

Si Putih kawan yang ku renggut
ku bakar tanpa kesan 

hitam musuhku saat terkantuk
putih kawanku saat terkutuk

insomnia sepuluh jari
salah satu sela menari
terbakar di depan bibir
asap membuka tabir

pembohong dua mata 
menatap sejuta kata
bermimpi saat terjaga
tertidur saat berlaga

Gelas retak di atas meja 
menampung sisa nyawa yang ada 
pagi datang tanpa menyapa 
menyisakan abu, menghapus luka

Monday, December 22, 2025

Kopi di atas mejaku manis yang tertahan

Gula di dalam kuemu pahit yang dibuang

Kita adalah dua rasa yang tak sempat bertemu, Di meja yang sama, namun di dunia yang kelabu. Cangkirku mendingin, kuemu tak lagi utuh, Menunggu kata yang sejak lama telah runtuh.

mengagumi camar terbang di atas langit orang
berlayar di perahu yang hampir saja karam
memandang nya dengan sayap yang mengembang
haluan terombang ambing ombak nan suram

camar melayang meratap awan menuju senja  
gelombang mendorong buritan menuju garis simfoni
Menyimpan luka di balik cakrawala yang manja, 
Menanti takdir di tengah laut yang sunyi.

 Di rumahku, hening adalah teriakan yang panjang. Di rumahmu, gaduh adalah sepi yang menyamar. Kita adalah dua cangkir yang retak isinya, Menampung anggur pahit setiap malam.

Ada frekuensi ganjil yang menyusup ke kepalaku, Sinyal darurat dari matamu yang jauh. Ingin kuretas jarak itu, Menjadi jarum yang menjahit sobekan di layarmu. Tapi kemudiku sudah dikunci ke arah utara, Sementara kau hanyut ke selatan.

Rindu ini menjadi hantu tanpa kaki, Melayang menembus dinding, duduk di tepi ranjangmu. Ia ingin menyeka debu di wajahmu, Tapi sadar ia tak punya wujud, Hanya uap panas yang lahir dari dinginnya sebuah ikatan. Kita ada, tapi dilarang menjadi "kita".

 Kita adalah dua garis paralel yang terluka, Berlari di atas rel yang berkarat, Menuju stasiun yang sudah lama tutup. Di punggungmu, ada beban benang kusut yang tak kau pilih, Di punggungku, ada jangkar yang menyeret ke dasar laut.

Aku ingin menjadi oksigen di ruang hampa dadamu, Tapi kita terpisah oleh tembok kaca tebal, Yang dibangun dari sisa-sisa sumpah yang mulai retak. Aku melihatmu tenggelam, Dan aku hanya bisa mengulurkan tangan yang terpasung.

Rindu ini adalah anomali, Bunga liar yang tumbuh di antara beton dan besi. Ia tidak meminta air, ia hanya meminta udara. Namun kita dilarang bernapas di satu atmosfer yang sama. Kita hanya boleh saling merasa, Lewat getaran tanah yang sama-sama rapuh.

Seperti air melangkah dengan pasti
Biar kemarin tak kuhiraukan lagi
Aku lukis cerita untuk esok hari
Tak perlu resah dengan kisah tak berarti

Seperti surya aku akan kan berlalu
Menjelang bulan yang indah slalu
Mengiringi bintang yang muncul malu malu
Tak akan hilang seperti masa lalu

Seperti angin aku kan terbang
Menerpa pagi dan siang dan petang
Membisik dunia dengan jiwa yang riang
Tak akan ada problema disaat tenang




Nanti kulanjut cerita hari ini
Setelah ego mereda di hati
Bergumam pun tak ada arti
Hanya perlu menyadarkan diri
Karena marah hanya melukai
Dan sabar adalah obat yang pasti


Ada kantuk yang terkutuk

Saat aku membayang wajah seorang

Hening malam kian menusuk

Memaksaku memeluk bayang

​Ada mimpi yang menyakiti

Saat tersadar kau tak kumiliki

Hanya hampa yang menemani

Di antara harap dan realiti kumiliki

Menulis bukan untuk mengikis
Menghapus bukan untuk menghunus
Menerka bukan untuk prasangka
Menjawab agar semua mustajab

Lima jari untuk menggenggam
Dua kaki untuk berjalan
Sepuluh jari agar seragam
Empat kaki menjadi simpulan 

Mataku tak jelas melihat
Biar ku guna agar mataku menjadi empat
Kupingku tak jelas mendengar
Biar kututup agar tak ada yang sangar

Antara piring dan sendok
Aku sisa tulang seongok
Tak usah dibuang
Kucing tetap sayang

Tetes hina ini sudah tumbuh
Sangat jelas hasil bersetubuh
Memang ada yang terbuang
Namun semua dari kasih sayang

Menghisap asap penuh aroma
Selinting tembakau padu bersama
Meneguk pekat dalam gelas
Sehitam prasangka yang tak jelas

Bertahta perlu berkata
Berdalih tak perlu kasta
Hitam memang pekat
Putih itu harkat

Tiba tiba kata kata itu ada
Pagi pagi ciri ciri itu manja
Lagi lagi senyum senyum itu sirna
Diam diam kaki kaki ini pergi


Namun air punya jalannya sendiri,

Mencari celah di sela jemari,

Semakin erat kau genggam,

Semakin deras ia merajam.

​Terkadang, banjir bukan untuk menghancurkan,

Tapi untuk membersihkan apa yang terlalu lama ditahan,

Agar arus tak lagi menjadi lawan,

Melainkan kawan seperjalanan.

Menahan arus yang berbeda
Berharap alur mengubah jeda
Membendung air yang deras
Berharap banjir tak mengganas

Secangkir kopi
Sebatang rokok
Terasa pahit
Penahan ego

Rokok ku hampir punah
Asapnya sudah musnah
Asbak nya sudah penuh
Bara kini terbunuh

Padahal kamu yang ku tunggu
Tak ingin seorang pun yang mengganggu
Saat waktu berpacu dengan lugu
Ternyata membuat semua menjadi ragu

Harapku sempat tersusun menjadi tugu

Namun kini runtuh, mematung di ambang pintu

Apakah diammu adalah sebuah isyarat bisu?

Bahwa temu tak lagi menjadi yang kita tuju.

Disaat seperti ini energi meluap tinggi
Meraung dan menjerit emosi yang tak pergi
Terduduk tak kantuk tanpa strategi
Kepala tertunduk menikmati elegi pagi

Entah mengapa sinyalnya terputus
Apa pulsanya yang telah hangus
Atau kontaknya sudah terhapus
Tapi baterainya tak hingga pupus

 Tajuk hari ini terlalu samar 

Menerpa cahaya redup sang damar 

Menanti hingga kaki dan lutut memar 

Terjaga diantara wajah wajah sangar


Ingatkan aku jika tak berkunjung disini 

Tidak melekatkan nota cerita nurani 

Mengumpat dari nyata tanpa kata berani 

Menambah dongeng dongeng meski tak berharmoni


Tiada kehidupan untuk menoreh kalbu 

Memeluk dan meremas bait bait berdebu M

embakar untaian tali putih bersumbu 

Hanya melihat lintasan alkisah bercumbu

Saturday, December 20, 2025

 Kopi di mejaku dingin sudah

kursi di depanku sudah lelah

kepala ku tak terlihat letih

namun jiwaku mulai tertatih


menunggu bunga yang tak kunjung tiba

hanya harumnya yang masih tersisa

entah aku harus bagaimana

aku tak tahu kau dimana


ternyata semua hanya memori

yang tak akan menjadi simfoni

kau pergi untuk waktu yang lama

aku tetap duduk di tempat yang sama

PUAN (VIDEO)



Melaju
Tak ada rintangan yang pasti

Mendayu
Tak ada nada yang tinggi

Menanti
Tak ada waktu yang ragu

Memberi
Tak ada rasa yang jemu

Menunggu 
Kamu berlari

Menganggu
Kamu berhenti

Merindu
Kamu berkata

Mencinta
Kamu bertahta

Aku bercerita kepada angin,

Betapa hampanya aku.

Aku berpaling dari langit,

Betapa lelahnya aku.

Aku berdalih pada malam,

Betapa sakitnya aku.

Aku berbohong pada hujan,

Betapa baiknya aku.

Sendu

Saat menahan jutaan sayatan rindu

Rindu

Saat mengenang detik-detik sendu

Siapa aku? Ruang sepi yang sempat kau singgahi.

Siapa kau? Pelarian yang mencari tempat berbunyi.

Siapa dia? Pemilik rumah yang sempat lupa jalan pulang.

Siapa dirinya? Alasanmu mengetuk pintuku saat petang.


Dimana aku? Di balik pintu yang kucoba kunci lagi.

Dimana dia? Terlelap, tanpa tahu kuncinya sempat rusak.

Dimana kau? Kembali pulang ke arah yang seharusnya.

Dimana dirinya? Menyambutmu di ambang pintu itu.


Waktu yang teramat singkat,

Menyekat tatap matamu dan mataku.

Namun rasa ini tak bersekat,

Terus memutar ulang memori saat bertemu.

Cinta itu nyata 
Tak dapat diraba namun dirasa 

Rasa itu tak sama 
Tak dapat dibaca namun